Monday, October 03, 2011

Istriku marilah kita tidur

Istriku marilah kita tidur, hari telah larut malam... Sepotong lirik lagu senantiasa terngiang di telingaku bila malam datang menghadang.

Aku terbaring sedang istriku masih duduk di bibir ranjang membelakangiku. Ia tampak lesu karena seharian penuh dengan aktivitas rumah... Entah apa yang berkecamuk di benaknya……

“Mengapa kamu masih duduk-duduk saja, sedang hari semakin larut” sapaku.
“Entah apa yang harus kulakukan esok pagi, anak-anak mesti pergi ke sekolah, sarapan, dan perlu makan seharian, sedang uang darimu sudah tak tersisa” lalu ia terdiam.

Aku mendengar keluh itu bukan sekali saja, dari bulan ke bulan bahkan dari minggu ke minggu. Rasanya aku mengharap ingin Kiamat malam ini, biar tak terlihat lagi hari esok.

“Istriku marilah kita tidur, hari telah larut malam, esok belum hadir dihadapan kita, sedang malam ini menanti songsongan” aku sambil berguling ke bokongnya.
“Tapi bagaimana anak kita bersekolah esok, aku sudah bilang tadi pagi, bahwa untuk esok kita sudah tak ada uang, biasanya kamu gesit untuk meminjam ke Koperasi” ia kesal.
“Ya aku selalu melakukan hal itu, namun tadi siang ada sesuatu yang kuharapkan dari kantor yang kudapat, tapi sampai sore uang itu tak keluar, sedang untuk meminjam kurasa canggung….. biar pagi-pagi nanti kutemui adikmu untuk meminjam uang padanya” aku masih mencari jalan.







“Kamu tidak tahu berapa banyak hutang kita pada adikku, aku sudah malu, jangankan untuk membayar, biaya sekolah untuk anak-anak saja selalu terlunta-lunta” ia mengajukan harga dirinya.

“Pada siapa lagi yang bisa kulakukan sepagi itu, hanya dialah satu-satunya harapan kita untuk meminjam” aku putus asa.

“Dulu ketika kita masih pacaran dan setelah aku berhasil sekolah, padahal sebuah PERUM Pemerintah telah menerimaku untuk bekerja” sejenak ia menarik nafas: “Tapi kamu yang meyuruhku untuk tidak bekerja, dan kuterima usulmu demi membangun sebuah Rumah Tangga” ia menangis.

“Aku tak menyesal dengan keputusanku itu, karena aku yang terlalu bodoh dalam berfikir, takut rumah tangga kita tak terurus. Namun kenyataan yang kita alami bicara lain, tak terfikirkan olehku pada sebuah Rumah Tangga sangat membutuhkan uang yang sangat banyak” sambil ku elus-elus punggungnya.

“Maksudmu?”

“Sekali lagi aku orang bodoh, baik dalam berfikir, juga dalam melaksanakan kehidupan. Aku tak mau melihatmu bekerja, belum lagi mengurusi rumah tangga, aku dan anak-anakmu adalah kewajibanmu. Maafkan, aku tak sampai hati melihatmu harus demikian, dan karena aku orang bodoh sehingga kuputuskan untuk memilih kamu tak bekerja, kamu konsentrasi dengan tugas Ibu Rumah Tangga, kamu akan mendapatkan upah yang tak terhingga dari Tuhan yang melebihi Gajimu di Perum itu, Namun Gaji itu tak dapat kamu rasakan sekarang, ia akan terus menumpuk di Rekeningmu di Akhirat nanti. Aku tak berharap kamu memiliki banyak uang dari hasil jerih-payahmu, aku kawatir suatu kali kamu akan ‘ngelunjak’ padaku sebagai suami walaupun itu terjadi di luar kesadaranmu, sedang pengabdianmu di dunia yang akan mensejahterakanmu di Akhirat adalah suami, Ridhaku sebagai suami juga merupakan Ridha Tuhan. Tuhan tak akan meridhaimu kalau suamimu tak meridhakanmu dalam segala tindakanmu, kita haruslah selalu menjaga tempat/hak, mana posisiku sebagai suami dan mana posisimu sebagai istri. Aku rela mati demi kamu dan anak-anakku untuk mencari nafkah, karena itu adalah tugasku yang Hakiki... Istriku mari kita mencari keridhaan Tuhan dengan “Memposisikan Diri”. mataku sedikit berkaca, lalu: “Istriku kita haruslah selalu sadar dan ingat, bahwa kehidupan ini bukan hanya satu kali, kita masih menyisakan 2 lagi yang harus ditempuh... lebih baik kita kalah di kehidupan pertama, tetapi bukan berarti kekalahan ini untuk berlanjut untuk menjadi kalah lagi pada kehidupan kedua dan ketiga... disini kita kalah tapi demi membangun kemenangan dikemudian nanti, sulit bagi kita untuk mendapatkan kemenangan disetiap kehidupan, rasanya dari 3 kehidupan yang kita miliki pasti ada yang lepas salah satunya atau bahkan ke tiga-tiganya...

Istriku marilah kita gantungkan harapan pada Sang Penguasa Segalanya, semoga kekakalahan ini dikehidupan pertama tak akan terulang dikehidupan kedua dan ketiga”.

“Tapi bagaimana dengan esok?” ia sambil menunduk.

“Tuhan pasti melihat dan mendengar, karena DIA Maha Melihat dan Mendengar, DIA tidak akan lalai memperhitungkan HambaNYA. Malam ini tak mungkin aku pergi untuk berikhtiar, hanya Doa yang dapat kupanjatkan padaNYA….. Istriku marilah kita tidur hari sudah larut malam”.

Aku berlabuh dan tenggelam dalam gelap malam yang menghimpit.

Tulisan ini merupakan Pengalaman/Kejadian Pribadi, kini Putra-putraku telah besar dan bekerja yang Gajinya jauh melebihi Pendapatanku. Aku yakin pengalaman ini ada kesamaan dengan pengalaman diantara kita yang lain.

Sumber : tulisan dari kawan di salah satu instansi pemerintah.

No comments:

Post a Comment

Subscribe Now: google

Add to Google Reader or Homepage